RABU, hampir malam di Yogya, setelah menikmati seutas benang kegenitan di Selasar Malioboro, untuk meluruskan punggung, saya melihat neonbox bertuliskan Hotel Nusantara. Kata Nusantara, eyecatching, hingga ransel dan buku, yang begitu berat di punggung, menyerah di hotel yang tepat berada di depan stasiun Tugu itu.
Siapa tahu, menambah khasanah, kabar berbeda terkait Nusantara. Padahal baru beberapa menit saya berdiskusi di kursi Selasar, dengan beberapa mahasiswa, aktivis muda dari JCPCare (Jogya Communication Project Care). Cerita-cerita tentang Indonesia.
Begitu masuk, kamar Nusantara, saya tak menemukan apa-apa, kecuali dua lukisan besar ekspresionisme di dinding lobi,
dua sachet nescafe classic, yang harus ditambah dengan air panas. Beruntung di ransel sudah ada dua boks kue, air mineral E plus dan sendok multifungsi.
Lalu kenikmatan Nusantara, saya buat sendiri, dan tak perlu “mbolang” istilah ibu-ibu muda di Sragen, ketika mengajak ibu-ibu lain untuk “dolan” jalan-jalan.
Beberapa catatan ala kakeibo, setelah dari Prambanan, menumpuk di meja, depan cermin lama khas Jawa, juga dua buah buku roman beda genre, “Janji” milik Tere Liye dan “Rumah Kaca” karya Pramoedya Ananta Toer.
Di Hotel Nusantara, awalnya saya membayangkan bisa menikmati denting ritmik akustik Eagles, Hotel California atau sejenisnya.
Sayang di ruang-ruang penuh cahaya Nusantara itu tak kutemukan apa-apa, tak ada ngudarasa, dandhanggula, pangkur, dan pupuh megatruh.
Padahal saya sudah rindu, membaca tulisan “Welcome to Nusantara”, dimana muka tidak menjadi penentu rasa suka. Jadi ingat diskusi kecil di Jakarta bersama bang Gautama, ceritanya ksatria, tapi matanya masih sudra.
Dwi fungsi ksatria dan waisya. Tapi, gagal ngurusi yang hanya sejengkal, perut, dan bawah perut. Tak malu, memeras keringat para sudra di desa-desa yang melahirkan Indonesia.
“Gawan bayi” jangan pernah dikhianati, itulah DNA Nusantara. Urusan merah putih, bukan hanya soal hitam putih.
Oleh Agung Marsudi.
Selasar Malioboro, 23 Februari 2022.