PEKANBARU (AktualBersuara.Com) – Balai Taman Nasional (TN) Tesso Nilo bersama dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau dan Yayasan TN Tesso Nilo telah melakukan upaya penanganan dalam kurun waktu 2 bulan terakhir.
Satu di antara upaya penanganan baru-baru ini adalah dengan melakukan penggiringan kelompok gajah sebanyak 3 ekor menuju habitatnya di lansekap Tesso Nilo.
Kepala Balai TN Tesso Nilo, Heru Sutmantoro pada keterangan tertulisnya menyampaikan, bahwa sampai saat ini upaya penanganan terus dilakukan oleh petugas walaupun terdapat beberapa kendala di lapangan.
“Kendala lokasi yang merupakan daerah rawa dan kurangnya dukungan masyarakat setempat atau pemilik kebun, menjadi masalah utama dalam penanganan,” ungkap Heru.
Heru menyampaikan lebih lanjut, apabila langkah penggiringan dalam waktu dekat tidak membuahkan hasil maka akan dilakukan evakuasi.
Dijelaskan dia, bahwa evakuasi akan dilakukan dengan analisis dan pertimbangan yang matang, termasuk tempat release, agar proses evakuasi berjalan lancar dan sukses.
Pada Jumat (15/07/22) lalu, Tim Operasi Penanganan Konflik Gajah melakukan penyisiran terhadap keberadaan gajah liar yang berada di areal perkebunan sawit masyarakat di Dusun Rantau Baru, Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.
Sebelumnya, tim bersama dengan Camat Pangkalan Kerinci, beserta lurah dan perangkat desa setempat melakukan pemantauan terhadap kebun sawit masyarakat yang di rusak oleh gajah liar di sekitar dusun rantau baru.
Selanjutnya tim bergerak ke arah hulu sungai dimana sudah ada anggota tim bersama masyarakat yang memantau keberadaan gajah liar yang menurut informasi warga berjumlah 3 ekor (2 dewasa dan 1 anak).
Hasil pantau tim operasi di lapangan ditemukan jejak gajah liar, tempat mandi atau istirahat dan bekas tanaman sawit yang di makan gajah liar.
Lalu, dari hasil analisa tim mahot gajah TN Tesso Nilo bahwasanya jejak gajah yang di temukan masih baru dan diperkiran gajah liar tersebut lewat pada hari Kamis (14/7).
Kemudian, terkait adanya pemberitaan terkait gajah liar di daerah rantau Baru, Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Heru menjelaskan, bahwa gangguan gajah liar di Kabupaten Pelalawan telah terjadi baik sebelum atau ketika adanya salah satu LSM.
“Balai TN Tesso Nilo dan BBKSDA Riau telah diundang beberapa kali oleh Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pelalawan untuk mencari solusi baik solusi jangka pendek maupun solusi jangka panjang,” ungkap Heru.
Heru menerangkan data saat ini populasi gajah liar diperkirakan berjumlah 100-150 ekor. Sedangkan rumah bagi gajah yang sudah dialokasikan oleh pemerintah seluas sekitar 81 ribu hektare di TN Tesso Nilo mengalami kerusakan yang cukup masif.
“Maka tak heran kalau saat ini gangguan gajah liar semakin meningkat dengan luas daerah gangguan yang meluas. Ini menjadi masalah besar saat ini dan waktu mendatang di Kabupaten Pelalawan,” ungkap Heru.
Pada saat rapat dengan DPRD Pelalawan termasuk peninjauan ke lapangan, disepakati sebagai solusi jangka pendek akan dibentuk Tim Penanganan Terpadu Gangguan Gajah Liar di Kabupaten Pelalawan. Tim ini dikoordinir oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.48 Tahun 2008.
“Untuk draft Surat Keputusan sudah kami susun dan sudah kami sampaikan kepada sekretaris komisi DPR dan Bupati Pelalawan untuk proses lebih lanjut. Sedangkan untuk solusi jangka panjang adalah membangun dan memperbaiki kembali rumah gajah yaitu TN Tesso Nilo dengan pemulihan ekosistem, rehabilitasi, penanaman, menghentikan penanaman sawit di TN Tesso Nilo. Selain itu menghentikan perambahan, dan menyelamatkan hutan alam yang saat ini tersisa,” jelas Heru.
Pelaksana Tugas (Plt) BBKSDA Riau, Fifin Arfiana Jogasara juga pada keterangan tertulisnya (17/07/22) menyampaikan bahwa perbaikan ekosistem sebagai habitat gajah tidak hanya di TN Tesso Nilo.
Namun, perbaikan ekosistem sebagai habitat gajah juga dilakukan pada areal-areal konsesi yang ada disekitarnya, mengingat konflik gajah terjadi justru di luar kawasan konservasi.
“Kantong-kantong habitat gajah banyak yang beririsan dengan hutan produksi. Sehingga perlu dibangun koridor yang menghubungkan areal konservasi atau lindung di dalam konsesi HTI maupun HGU perkebunan sawit sebagai kewajiban mereka. Selain itu juga perlu didorong adanya regulasi di tingkat provinsi baik melalui Peraturan Gubernur atau Peraturan Daerah,” terang Fifin. (Red/Pas)